Baru aja selesai baca The Grand Design nya Stephen Hawking yang oleh penerbit Gramedia diterjemahkan menjadi: Rancang Agung. Buku tersebut mencerninkan betapa hebatnya Hawking menjelaskan sesuatu yang teramat rumit sehingga bisa dimengerti oleh orang awam. Lewat buku tersebut Hawking menejalasakan Mekanika quantum, teori dawai, teori-M dan konsep-konsep fisika teoritis lainnya dengan bahasa sederhana, non-teknikal yang mudah dipahami oleh siapapun.
Buku tersebut menjelaskan tentang asal-usul alam semesta, menurut buku tersebut:
alam semesta yang kita tempati ini tercipta secara kebetulan, begitupula dengan alam semesta lainnya. Yup.. alam semesta tidak tunggal tapi ada buaaanyak sekali. Tidak semua alam semesta berisi kehidupan, hanya beberapa saja termasuk alam semesta yang kita tempati ini, mengapa? Itu hanya kebetulan belaka. Dan yang terpenting dari buku tersebut, Itu semua, bagaimana alam semesta terbentuk bisa dijelaskan sepenuhnya oleh sains tanpa perlu membawa-bawa Tuhan
Mungkin banyak dari kita yang menolak konsep bahwa alam semesta bisa tercipta secara kebetulan tetapi buku tersebut menjelaskan bagaimana hal tersebut terjadi. Buku tersebut menempatkan proses terciptanya alam semesta sama dengan fenomena-fenomena alam lainnya, tidak membutuhkan kosep adi-kodrati untuk menjelasakan prosesnya
- Kita tidak membutuhkan konsep dewa Hujan untuk menjelaskan bagaimana hujan turun
- Kita tidak membutuhkan Konsep Dewa Neptunus atau Nyi Roro Kidul untuk menjelasakan badai di lautan.
- Kita tidak membutuhkan konsep Dewi Sri untuk menjelaskan padi yang tumbuh di sawah
Menurut saya sudah seharusnya Sains mencoret faktor Tuhan untuk menjelasakan asal-usul alam semesta. Coba kamu bayangkan, apa yang akan terjadi jika Sains membutuhkan Tuhan? Apakah itu akan menjawab permasalahan? Tidak, itu tidak menyelesaikan masalah hanya memindahkan masalah. Sains tidak lagi bertanya tentang asal-usul semesta tapi malah bertanya asal-usul Tuhan. Karena sains tidak akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh agama: Tuhan adalah penyebap dari segala penyebab (First Cause). Sains akan mencari jawaban konsep tuhan mana yang tepat dari sekian banyak konsep tuhan. Apa jadinya jika konsep tuhan menurut sains berbeda dengan konsep tuhan yang kita yakini?
Apakah buku tersebut membuktikan secara sains kalau Tuhan tidak ada?
Tidak, sampai detik ini, sains tidak mempunyai metode satu pun untuk membuktikan bahwa suatu hal tidak ada. Bagaimana cara membuktikan bawha Gajah Terbang tidak ada? Bagaimana cara kita membuktikan Ksatria pedang abadi, Highlander tidak ada?
Buku tersebut cuman mengatakan tidak perlu menghadirkan Tuhan untuk menjelaskan asal-usul Alam semesta
Apa jadinya jika konsep tuhan menurut sains berbeda dengan konsep tuhan yang kita yakini?
Well, kalau saya dihadapkan pada pertanyaan seperti ini, jujur saja saya akan ikut bukti–kemanapun perginya.
Bagaimana dengan Bung Arie sendiri?
Mmm…jujur saka akan berada di pihak Sains
jwaban yang akan didapatkan jika tak mencampurkan faktor tuhan hanya sebatas proses berkembangnya Alam semesta dari pertama ada hingga saat ini. Tanpa memasukan faktor tuhan manusia taakan pernah bisa menjawab dari mana Alam semesta dari ketidak adaanya.
Manusia hanya bisa mendapatkan jawabannya jika melihat fenomena kebelakang, terus menerus kebelakang,
In “The Grand Design” Hawking says that we are somewhat like goldfish in a curved fishbowl. Our perceptions are limited and warped by the kind of lenses we see through, “the interpretive structure of our human brains.” Albert Einstein rejected this subjective approach, common to much of quantum mechanics, but did admit that our view of reality is distorted.
Einstein’s Special Theory of Relativity has the surprising consequences that “the same event, when viewed from inertial systems in motion with respect to each other, will seem to occur at different times, bodies will measure out at different lengths, and clocks will run at different speeds.” Light does travel in a curve, due to the gravity of matter, thereby distorting views from each perspective in this Universe. Similarly, mystics’ experience in divine oneness, which might be considered the same “eternal” event, viewed from various historical, cultural and personal perspectives, have occurred with different frequencies, degrees of realization and durations. This might help to explain the diversity in the expressions or reports of that spiritual awareness. What is seen is the same; it is the “seeing” which differs.
In some sciences, all existence is described as matter or energy. In some of mysticism, only consciousness exists. Dark matter is 25%, and dark energy about 70%, of the critical density of this Universe. Divine essence, also not visible, emanates and sustains universal matter (mass/energy: visible/dark) and cosmic consciousness (f(x) raised to its greatest power). During suprarational consciousness, and beyond, mystics share in that essence to varying extents. [quoted from my e-book on comparative mysticism]
Masalahnya tet, tidak semua orang dapat mencerna konsep pemisahan “Tuhan” dari pembuktian gejala2 alam semesta. Karena sulit untuk tidak beranggapan bahwa suatu karya alam, apalagi mahakarya, tercipta tanpa ada penciptanya…