Baru aja baca artikel di Detik.com yang menggelitik pikiran saya. Artikel tersebut berjudul:
Mendikbud: Pelajaran Matematika Bisa Membentuk Sikap dan Akhlak Anak
Saya Copas saja artikelnya disini
Jakarta – Ternyata, pelajaran matematika bisa membantu pembentukan akhlak siswa. Mempelajari matematika secara benar juga bisa berpengaruh pada perkembangan anak di masa depan. Bagaimana caranya?
Mendikbud M Nuh mengatakan, banyak orang meragukan peran matematika dalam pembentukan akhlak seorang siswa. Padahal ternyata efeknya cukup besar.
“Banyak yang bertanya-tanya pelajaran di sekolah apa bisa membentuk akhlak. Yang paling banyak ditanya, matematika. Itu sebenarnya bisa berpengaruh pada sikap,” kata Nuh dalam diskusi Terbatas bertema “Penguatan Akhlak Bangsa”, diselenggarakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Antar Agama, Ruang Nias lantai 19 Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2013).
Nuh mencontohkan sikap yang bisa dibentuk dari pelajaran matematika, yakni teratur, disiplin dan taat peraturan. “Matematika punya konsekuensi untuk sikap tadi. Misalnya ada hitungan panjang dikali lebar hasilnya 20. Itu harus 20 nilainya, itu yang benar. Nanti di kehidupan, yang benar harus diterapkan, seperti itu,” paparnya.
Mantan Rektor ITS ini menambahkan, pelajaran agama dan budi pekerti memang yang paling berperan dalam akhlak seorang anak. Karena itu, jam pelajaran ilmu tersebut akan ditambah.
“Struktur kurikulum SD, untuk kelas I-VI, tadinya pelajaran agama 2 jam, kami naikkan jadi 4 jam,” sambungnya.
Lebih lanjut, Nuh berpesan agar masyarakat Indonesia harus tetap bersatu, apapun agama dan latar belakangnya. Sikap toleransi harus terus dikedepankan agar tercipta kerukunan yang baik.
“Kalau Anda orang Indonesia yang beragama Islam, Anda akan peduli membangun Indonesia. Di Indonesia itu, bukan Indonesia kalau tidak ada Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu. Indonesia itu juga ada Dayak, Jawa, Bali, banyak lagi. Indonesia itu beragam dan harus bersatu,” paparnya.
Menurut Bapak Menteri Pendidikan kita, Matematika membentuk sikap teratur, disiplin dan taat Peraturan. Mmm…saya malah berpikir sebaliknya, justru Matematika membentuk sikap kritis dan memberontak terhadap aturan ( Tentu, bukan asal berontak).
Matematika selalu menuntut penjelasan terhadap semua pernyataan, tidak sembarang penjelasan tetapi penjelasan yang sahih. Di sinilah Matematika membentuk sikap kritis kita. Matematika justru maju dan berkembang karena memberontak, merombak peraturan matematis (Baca: Aksioma) yang telah ada. Pada abad ke-19 para Matematikawan memberontak terhadap Geometri Euclidean sehingga lahirlah Geometri Non-Euclidean yang justru lebih sesuai dengan realita. Itu tadi satu contoh dan masih banyak contoh lainnya, bagaimana Matematika maju karena memberontak terhadap peraturan yang sudah ada.
Jika ada peraturan , Matematika akan selalu bertanya mengapa peraturannya seperti ini? Apakah peraturan ini yang terbaik? Jika belum, bagaimana mengkontruksikan peraturaan yang lebih baik?
Kesimpulan: Matematika justru membentuk sikap kritis teradap peratruran. Bahkan kalau perlu kita berontak terhadap peraturan tentu dengan satu syarat: Kita punya penjelasan yang sahih mengapa kita melakukan pemberontakan.
Membentuk sikap teratur, disiplin dan peraturan, Mmm…sepertinya Pak Nuh hendak membentuk Generasi fasis melalui pendidikan Matematika. HELL NO Pak Mentri..
Sumber Gambar: guardian.co.uk
like this very isnpiring
***“Matematika punya konsekuensi untuk sikap tadi. Misalnya ada hitungan panjang dikali lebar hasilnya 20. Itu harus 20 nilainya, itu yang benar. Nanti di kehidupan, yang benar harus diterapkan, seperti itu,” paparnya. ***
Parah bener cara berpikir seperti itu. Apakah mentang mentang bahasa kita tidak mengenal “right/wrong” dan “true/false” maka kita berhak mencampur-adukkan keempat istilah tersebut? Ampun dah.
Ini salah satu Kompetensi Dasar pada Matematika Kelas X SMA Kurikulum2013:
“2.2 Menunjukkan kesadaran hak dan kewajiban serta toleransi terhadap berbagai perbedaan di dalam masyarakat majemuk sebagai gambaran menerapkan nilai-nilai matematis sebagai hasil mempelajari persamaan dan pertidaksamaan linear.”
Bagaimana pendapat Anda?
Ya saya sudah baca, yang saya tangkap:
anak2 mempelajari mempelajari persamaan dan pertidaksamaan linear kemudian mendapatkan nilai2 matematis lalau nilai2 matematis tersebut diterapkan untuk Menunjukkan kesadaran hak dan kewajiban serta toleransi terhadap berbagai perbedaan di dalam masyarakat majemuk.
Pertanyaan saya kepada para penyusun Kurikulum2013 adalah:
1) Nilai matematis apa yang dimaksud? Apa nilai-nilai matematis dari mempelajari persamaan dan pertidaksamaan linear?
2) Apakah benar nilai2 matematis tersebut dapat diterapkan untuk memahami toleransi dan perbedaan?
3) Jika Ya, bagaimana cara/ teknis penerapannya?
Terimakasih atas tanggapan dan penjelasannya!
Demikianlah yang saya maksud (ketiga pertanyaan tersebut). Bagi saya, itu “mengada-ada”, memaksakan konsep “kompetensi aspek kognitif-afektif-psikomotorik” menyatu dalam Kompetensi Dasar dengan cara semacam itu.
Paradigma agama adalah percaya. Paradigma moral adalah kesadaran akan kehadiran manusia-manusia lain dan bagaimana menempatkan diri dalam relasi dengan mereka. Paradigma ilmu pengetahuan positif adalah empirisme dan berpikir logis dan kritis. Ketiganya bisa dipertentangkan atau dipadukan. Semua tergantung pada sikap si subjek.
Ya..setuju Semua tergantung pada sikap si subjek. Nah,,, masalahnya di kurikulum 2013 negara mau ikut campur. Disinilah yang saya tidak setuju. Bagaimana seseorang merelasikan agama-moral-ilmu itu urusan pribadi, negara tidak perlu ikut campur…
Entah apa yang bakal terjadi, yang jelas di dalam Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) Matematika SMA telah terjadi “pelacuran” unsur watak (karakter), budi pekerti, dan sebangsa itu terhadap konsep disiplin ilmu matematika. Lucu bin rancu!
Saya punya dokumen (yang katanya) KOMPETENSI DASAR SMA kurikulum 2013.Tertulis bahwa Kompetensi Inti Pelajaran Matematika adalah
“Menghayati dan mengamalkan ajaran agama
yang dianutnya.”
Itu berarti menurut Kurikulum 2013, Bertrand Russell yang Atheis itu bodoh matematikanya
Sama halnya dengan Einstein yang agnostis, Alan Turing, dan banyak lagi saintis lainnya.
menurut bapak artikel Yang sama bertambah, yang berbeda berkurang ini apa benar?
Baca sekilas, sepertinya benar
iya. kadang orang yang suka meneliti matematika suka meneliti kehidupan, lalu menemukan kekaburan dalam kehidupan sehari-hari (seperti kata bertrand russel).
contoh:
gelap >< cahaya
I Like it…Bener Banget….