
Sumber: psykopaint.com
Tulisan ini terinspirasi dari perkataan Prof Iwan Pranoto Guru Besar Matematika ITB di suatu diskusi yang saya ikuti bulan juli tahun kemarin. Hehe.. udah cukup lama yach kejadiannya. Ketika itu beliau berkata bahwa peristiwa-peristiwa Intoleransi yang terjadi di Negeri ini bukan salah pendidikan agama melainkan karena pendidikan matematika telah diajarkan secara keliru di sekolah. Beliau berpendapat matematika erat kaitannya dengan sikap toleransi. Bermatematika dengan benar akan mengasah sikap toleransi kita. Ya..saya sependapat dengan beliau menurut saya ada 2 cara bagaimana matematika mengasah sikap toleransi.
1. Menghargai Pendapat orang lain.
Matematika dijuluki Ilmu pasti, jujur saya tidak suka dengan julukan tersebut, memberi kesan di Matematika setiap persoalan hanya mempunyai 1 jawaban yang pasti, jawaban yang lain ngaco, ngawur. Padahal, sebenarnya tidak seperti itu.
Berapa 1+1?
Jawabannya pasti 2, eh… belum tentu. Jawaban dari pertanyaan diatas belum tentu 2 tergantung sistemnya. Dalam sistem bilangan real jelas 1+1-2. Dalam sistem bilangan biner 1+1=10 sedangkan dalam Grup modulo dua 1+1=0. Jadi jawaban dari pertanyaan diatas tergantung dari sistem yang digunakan. Apakah matematikawan yang berkerja di sitem bilangan real akan mengatakan matematikawan yang berkerja di sistem bilangan biner itu bodoh, idiot karena mengatakan 1+1=10.?Tentu saja tidak.
Salah satu cabang Matematika adalah Geometri. Nah geometri ini secara garis besar dikatakan terbagi 2 yaitu Geometri Euclidean dan Geometri Non-Euclidean. Pada mulanya hanya terdapat Geometri Euclidean yang aksioma-aksiomanya dirumuskan oleh Euclid, sekitar 300 tahun sebelum masehi. Di abad ke-18 para matematikawan mulai meragukan aksioma ke-5 dari Geometri Euclidean, yang disebut Aksioma kesejajaran akibatnya muncullah Geometri Non-Euclidean yang menolak aksioma kesejajaran. Apakah Geometer yang berkerja di Geometri Euclidean akan mengatakan Geometer yang bekerja di Geometri Non-Euclidean itu sesat karena mengingkari aksioma kesejajaran? Tentu saja tidak.
2. Fokus terhadap Persamaan.
Percaya tidak kalau saya bilang Donat dan Cangkir sebenarnya mempunyai rupa yang sama? istilahnya Homeomorphic. Inilah matematika, fokus terhadap persamaan bukan perbedaan. Jika melihat 2 hal berbeda, metematika mengajari kita untuk mencari persamaannya bukan perbedaannya. Peristiwa-Peristiwa Intoleransi yang terjadi sebenaranya karena kita fokus terhadap perbedaan bukan persamaan, ya kan?
***
Itu tadi pendapapat saya bagaimana matematika mengajari kita tentang Toleransi. Sayang di sekolah Matematika diajari keliru hanya sebatas hapalan rumus. Matematika diajarkan secara dogmatis 1+1 pasti 2, “ini rumusnya hapalkan saja”. Siswa tahu perbedaan segitiga, persegi, trapesium tetapi tidak diajarkan bahwa dibalik perbedaan bentuk-bentuk geomtri tersebut terdapat persamaan yang justru merupakan fokus dari matematika.
menarik!
silahkan mampir juga 🙂
http://portalcendekia.wordpress.com/
Keren saya suka yg ke-2 mas (y)
nice post prof…
its my inspiration. tq 🙂