Disclaimer: Tidak semua sekolah melakukan hal yang saya tuliskan
Tulisan ini dibuat malam sebelum UN tingkat SMA berlangsung 14 – 16 April. Menjelang UN, saya ingin memberitahukan satu rahasia Kotor. Ketika UN berlangsung ada Guru-guru yang menjadi Malaikat Subuh. Istilah yang terdengar keren tetapi itu benar – benar merupakan suatu dirty work . Tugas Malaikat Subuh adalah kasak-kusuk kesana kemari pada pagi buta mencari jawaban atau bocoran UN untuk diberikan kepada murid-muridnya yang menjadi peserta UN sebelum UN berlangsung.
Bisa jadi Guru yang kau hormati, guru yang kau kagumi atau guru Favoritmu pernah menjadi Malaikat Subuh. Mengapa seorang guru mau melakukan hal teramat kotor tersebut? Konon katanya imbalan menjadi Malaikat Subuh lumayan besar, meskipun saya tidah tahu jumlah pasti nominalnya. Tetapi saya yakin mereka mau melakukan hal sekotor itu bukan karena materi, karena saya sendiri Guru. Mereka melakukan hal menjijikkan itu karena sistem. Sistem pendidkan kita yang busuk memaksa guru-guru ikutan menjadi busuk. Ada harga yang teramat mahal yang harus ditanggung sekolah jika ada muridnya yang tidak lulus UN. So.. oleh karena itu sekolah akan melakukan segala cara supaya semua muridnya lulus UN meskipun harus mengutus gurunya menjadi malaikat subuh untuk melakukan pekerjaan setan pada waktu Subuh.
Update Senin, 14 – 4 – 2014
Sebagai pengawas UN ternyata benar UN kali ini ada 20 paket soal. Di soal tidak tercantum kode soal untuk mengetahui soal tersebut paket berapa terdapat barcode di pojok atas soal. Seorang rekan Guru mengatakan sudah tidak ada lagi Malaikat Subuh, konon katanya “permainan” akan dilakukan di tingkat provinsi ketika LJK ( Lembar Jawab komputer) dipindai.
Yang menarik dibalik LJK tercantum tulisan
Berdoalah sebelum mengerjakan soal.
Kerjakan dengan jujur karena kejujuran adalah cermin kejujuran
Mmm… nasihat yang bagus tapi sayangnya sistem pendidikan kita membuat harga kejujuran teramat murah, teramat rendah dibandingkan harga kelulusan
Saya setuju, UN adalah beban bagi hampir semua orang. Saya setuju bahwa secara tidak langsung …kelulusan UN membuat kejujuran menjadi murah. Tapi meniadakan alat ukur yang standar dimana pemetaan, perangkingan, dan pengetahuan general terpaparkan terkait “kesehatan” kependidikan kita, adalah hal yang juga sama mahalnya dengan kejujuran itu sendiri. Jika pekerjaan kita adalah membangun rumah..denah rumah yang kita buat, harus kita lihat seberapa jauh sebenaranya progres pengerjaan di lapangan. UN sebagai standar akan memotivasi dan memaksa kreativitas sivitas pendidikan untuk mencoba terus menerus upaya penyempurnaannya. Mungkin lebih adil jika ..kelulusan adalah tanggung jawab sekolah, sementara peringkat seseorang secara nasional adalah tanggung jawab individunya. Daerah yang ber”warna” merah dalam peta pendidikan, juga akan tampak dan HAL ITU yang mendasari upaya prioritas daerah “merah”.
Ya alat ukur BUKAN alat kelulusan. Kemendikbud mengatakan salah satu tujuan UN adalah pemetaan tetapi setelah 10 tahun berjalan saya belum melihat hasil pemetaannya.
Ya memang benar dalam membangun rumah kita perlu standar rumah yang layak itu seperti apa. Tetapi kelayakan suatu rumah itu berbeda. Rumah yg layak di derah pantai belum tentu layak diderah pegunungan. Rumah 2 kamar tidur layak untuk keluarga dengan 4 angota tetapi tidak layak untuk 16 angota ( suer, saya punya murid dengan 14 bersaudara).
Pendidkan memeng perlu standar tetapi standar tiap derah seharusnya berbeda-beda karena tiap daerah punya sikon, karakter dan problematika yang beda. Adalah hal yang konyol yang menganggap standar pendidikan di jakarta dan NTT harus disamakan
Apakah info diatas benar adanya? Kalau benar, tamatlah pendidikan kita,, bukankah kejujuran adalah yang utama? Kalau guru2nya sudah menempuh hal yang tdk jujur? Bagaimana dgn muridnya?
Saya Guru untuk apa saya mengada-ngada, Ya benar UN membuat pendidkan kita tamat. UN membunuh nilai mendasar dari pendidkan : KEJUJURAN
saya setuju… UN DITIADAKAN !!!.
UN BEBAN, bagi semua.
bukan hanya Murid, tapi GURU, juga SKOLAH.