Pengalaman mengajar di Pesantren

pesantrenKali ini saya gak ngomogin matematika, saya mau berbagi pengalaman. Saya mau menceritakan pengalaman saya mengajar di Pondok Pesantren Modern X di kabupaten bogor, selama 2 tahun. Untuk menjaga nama baik dan Masa depan Pesantren, saya rahasiakan nama pesantrennya 🙂 . Oya buat yang belum tahu, ada embel-embel Modern artinya pasantren tersebut selain mengajarkan ilmu agama kepada santrinya juga mengajarkan ilmu-ilmu umum.

Ponpes modern X adalah komplek pendidikan yg luas dan sejuk terletak dibawah kaki Gunung salak tidak jauh dari Bumi Perkemahan Gunung bunder dan Wana wisata Gunung Salak Endah.

Di Ponpes modern X, tersedia semua jenjang pendidikan dari PAUD sampai perguruan tinggi, pokoknya komplit dech. Di sana, santri yang mondok/ berasrama hanya tingkatan SMP dan SMA. Jadi ketika siang para santri belajalar ilmu umum dan agama di sekolah dan malamnya santri fokus belajar agama. Saya mengajar matematika di tingkat SMA, karena di bawah kementrian Agama maka disebutnya Madrasah Aliyah (MA). Di sana saya di panggil Ustad. Jujur saya sama sekali tidak nyaman dengan panggilan tersebut. Secara harfiah Ustad artinya guru tetapi di kita, konotasi Ustad adalah orang lurus alim dan berilmu agamanya tinggi sedangkan saya masih mencang-mecong sama sekali gak pantas dipanggil Ustad.

Awal mengajar saya pikir akan mudah mengajar santri-santri yang alim yang sopan, yang nurut dan Takhzim ke gurunya. Ternyata saya keliru besar, santri-santri di Ponpes Modern X itu spesial pake telor 😀 . Mayoritas santri tidak mau masuk pesantren. Saya pernah melakukan survey kecil-kecil paling sekelas hanya 1 – 2 santri yang niat mondok sisanya disuruh orang tuanya.  Lagipula mana ada sich anak yang mau masuk pesantren? Anak yang hidup nyaman di kamarnya ada game console, wiifi, komputer apa mau meninggalkan itu semua? Untuk hidup berasrama, dengan 6 anak per kamarnya. Kalaupun ada paling cuman 1 – 2 anak. Banyak orang tua yang punya pemikiran keliru terhadap pesantren, yang berpikiran kalau anak saya bandel, masukkan saja ke pesantren. Yang ada malah si anak tambah bandel kerena berontak dipaksa masuk pesantren. Sebagai guru jelas suatu tantangan tersendiri mengajar anak-anak yang dari awal tidak berniat  untuk sekolah.

Sebagai guru adalah wajar bertanya kepada muridnya.

Nak, rumah kamu di mana?

Tetapi di Ponpes X saya sering mendapatkan jawaban yang membuat saya mengelus dada, yaitu ketika santri menjawab

Rumah ayah di sana, rumah ibu di sini.

Cukup banyak, meskipun saya tidak tahu persentasenya, santri-santri yang orang tuanya bercerai. Karena tidak mau repot ngurus anaknya maka si anak di masukkan ke pesantren. Dasar, ortu yang tidak bertanggung jawab. Jelas bukanlah hal mudah mengajar anak broken home yang miskin kasih sayang orang tua.  Di ponpes X, saya menyaksikan sendiri betapa buruknya efek perceraian terhadap anak.

Dulu pernah kejadian ada santri yang bermasalah, pihak sekolah melepon bapaknya untuk datang ke seolah menyelesaikan masalah anakanya, beginlah kira-kira jawaban si bapak

Saya sibuk, sebutkan saja nominalnya ntar saya transfer.

Jadi banyak orang tua yang berpikir pesantren itu seperti bengkel. Pokoknya saya mau beresnya saja anak saya keluar pesanteren jadi bener, jadi baik berapapun biayanya gak masalah. Padahalkan gak seperti itu.

***

Itulah sekelumit pengalaman saya mengajar di Pesantren. Pesan saya untuk orang tua yang ingin anaknya masuk pesantren, pastikan anak anda juga ingin, jangan dipaksakan. Untuk para pengajar, jika ingin mencari senssasi berbeda, mengajaralah di pesantren 🙂

Advertisement

About Nursatria

Seorang Alumnus Matematika UGM, dengan ilmu yang didapat ketika kuliah (Padahal sering bolos kuliah :p ), saya menyebarkan virus matematika
This entry was posted in Non Math, Uncategorized and tagged , , . Bookmark the permalink.

6 Responses to Pengalaman mengajar di Pesantren

  1. Graciosa EM says:

    Seharusnya orang tua tidak lepas tangan 100% menyerahkan anaknya ke pesantren. Orang tua juga harus memonitor perkembangannya. Jadi orang tua tau apa yang diajarkan di pesantren dan perkembangannya

  2. seputarpesantren says:

    umumnya orang tua yng kesulitan mendidik atau memantau anaknya di sekolahkan ke pondok pesantren, jadi ya begitu karena terpaksa. setelah lulus dari pesantren kurang mencerminkan santri, harus ada filter untuk kebaikan semuanya, ibaratnya ga mau ngurus trus dititipin ke pesantren, ya malah makin rusak karena gak ada yang memantau secara individu.

  3. Sheren Amelia says:

    Iyaa kalo anaknya gamau jgn dipaksakan yg penting ibadah anaknya rajin dan dijalan yang benar

  4. Olga Naomi M. C. says:

    … Ortunya bener-bener gak mau ambil pusing, astaga.. 😐

  5. Chrisantian S.P (CSP) says:

    Jika begitu menurut saya yang harus dimasukan pesantre. Itu orang tuanya bukan anaknya

  6. bayupraharaa says:

    Untung sekolah di pesantren yg bukan basis asrama, hhe di MA swasta jadi masih bisa pulang ke rumah n main game console :D.
    N bener tuh ilmu umum dan agama di satuin, terakhir di MTs 32 pelajaran sekarang dah kelas 12 di MA 42 pelajaran, alhamdulilahnya temen2 gk ada yg sampe masuk ICU gara2 overdosis “ngisep” pelajaran.
    Hhe maaf ya bang klo jadi curcol ujungnya tapi memang begitulah kenyataannya 🙂

Silahkan, tinggalkan komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s